Kerajaan Banjar
Kerajaan Banjar merupakan kerajaan Islam di Pulau Kalimantan, tepatnya Kalimantan Selatan. Tidak ada yang tahu pasti sejarah berdirinya Kerajaan Banjar, namun ada sumber yang menyatakan bahwa, kerajaan Banjar berdiri tahun 1520 tetapi menjadi kerajaan Islam baru enam tahun kemudian (1526 M). Kerajaan Banjar sudah muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang pusatnya di hulu sungai Nagara. Kerajaan Dipa pernah menjalin hubungan dengan Majapahit, sebagaimana tercatat dalam kitab Nagarakartagama.
Menurut Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin, konon diceritakan bahwa kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Daha sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudra. Hal tersebut menimbulkan perpecahan/konflik antara Tumenggung yang merupakan anak Raden Sukarama dengan Raden Samudra. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden Samudra dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.
Raden Samudra sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut kampung Oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota Banjarmasin karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, Raden Samudera melihat potensi Banjarmasin dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Daha. Kekuatan Banjarmasin untuk melakukan perlawaann terhadap Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai raja, tepatnya dinobatkan oleh Patih Masih, Muhur, Balit, dan Kuwin.
Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan dan sejak itulah Raja Samudra menjadi pemeluk Islam tanggal, 24 September 1526 bertepatan 6 Zulhijjah 932 H dengan gelar Sultan Suryanullah/Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja). Sedangkan yang mengajarkan ajaran Islam kepada Raden Samdra, Patih, dan rakyatnya adalah seorang penghulu Demak. Menurut sumber lain tepatnya A.A Cense Islamisasi terjadi tahun 1550 M. Sultan Suryanullah meluaskan wilayah kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah taklukan biasanya mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah.
Tahun 1546 Sultan Suryanullah wafat dan digantikan oleh anak tertuanya yaitu Sultan Rahmatullah yang masih mengirimkan upeti ke Demak. Tahun 1570 Sultan Rahmatullah digantikan oleh putranya yang bergelas Sultan Hidayatullah. Patih-patih yang menobatkan Raden Samudra telah tiada, untuk mangkubumi Raden Hidayatullah adalah Kyai Anggadipa. Tahun 1595 Raden Hidayatullah meninggal dan digantikan oleh Sultan Marhum yang bergelar Sultan Mustain Billah. Sultan inilah yang memindahkan ibukota kerajaan ke Amuntai. Masa pemerintahan Sultan Mustain Billah pada awal abad 17 ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan dapat menghimpun 50.000 prajurit. Begitu kuatnya kerajaan Banjar, sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan Kalbar, Kaltim dan Kalteng. Tanggal 07 Juni 1607 Banjarmasin kedatangan pedagang Belanda Gillis Michielse-zoon diundang ke darat, tetapi akhirnya dibunuh dan kapalnya dirampas. Kemudian Keraton/ibu kota ke sebelah hulu tepatnya Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuwin, banjarmasin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612 sebagai ajang balas dendam. Perdamaian terjadi lagi tahun 1635 tetapi hubungan tidak lama.
Sejak pengaruh Belanda politik monopoli perdagangan masuk di Kalimantan Selatan dan terus-menerus terjadi perselisihan baik dengan pihak Belanda maupun di lingkungan Banjar sendiri, ditambah masalah perdagangan Inggris. Terutama sejak Abad ke-18 sejak Belanda membuat Benteng di Pulau Tatas tahun 1747 bahkan pada abad ke-19 , tepatnya tanggal 04 Mei 1826 melalui kontrak antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultaan Adam, dalam hal ini Pulau Tatas diserahkan kepada Belanda, juga Daerah Kuwin Selatan, Pulau Burung, Pulau Bakumpal, dan sebagainya. Abad ke-18 (1710-1812) ulama besar lahir di Martapura yang bernama Muhammad Arsyad b’abdullah. Sultan Tahlil Allah (1700-1745) membiayai Arsyad belajar di Haramayn selama beberapa tahun. Sepulangnya ia mengajarkan fiqih dengan kitabnya Sabil Al-Muhtadin, ia juga ahli tasawuf dengan karyanya Khaz Al-Ma’rifah.
Sultan Adam wafat tanggal 01 November 1857, pergantian Sultan-Sultan dengan campur tangan Politik Belanda mulai menimbulkan pertentangan-pertentangan antara keluarga raja-raja. Lebih-lebih setelah dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Seman. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus terutama tahun 1859-1863 merupakan perjuangan baik rakyat maupun para pahlawan, antara lain Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, dan Haji Nasrun. Dan perlawanan terhadap penjajah Belandaitu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.